JUBILEUM 125 TAHUN HKBP SIBUNTUON RESORT BALIGE

JUBILEUM 125 TAHUN  HKBP SIBUNTUON RESORT BALIGE
Jubileum

Rabu, 02 September 2009

"Dikonia HKBP yang Inklusif"

Diakonia HKBP yang Inklusif
By: Pdt. Maruasas S.P Nainggolan S.Si (Teol)


Islam – Kristen Esklusif

Berangkat dari masalah-masalah dan konflik-konflik besar yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Kristen. Adian Husaini menulis sebuah buku dengan judul “Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia” mencoba memberi paparan dan fakta-fakta Konflik SARA-khususnya antara Islam dan Kristen di Indonesia yang tetap berlangsung sampai saat ini. Perlu dicari jawaban yang benar bagaimana seharusnya umat Islam menghadapi gerakan Kristenisasi dan orang-orang nonmuslim pada umumnya. Apakah misalnya umat Islam boleh melakukan kekerasan terhadap umat Kristen yang melakukan Kristenisasi? Bolehkah kaum muslim merusak bangunan atau gereja yang dijadikan sebagai pusat pemurtadan kaum muslim? Bolehkah kaum muslim menyerang oknum-oknum pelaku misionaris? Atau umat Islam hanya disuruh menghimbau terus menerus dan berdiam diri?

Sudah lebih dari empat dasawarsa kalangan Katolik dan Protestan “membangun sikap” yang “konsisten” dan “tegar” apabila berhadapan dengan kepentingan umat Islam atau nilai-nilai Islam yang diduga berdampak dan mengurangi eksistensi ajarannya. Konsistensi sikap yang intolerans tersebut antara lain dapat dilihat pada berbagai fakta sejarah berikut ini: Dicoretnya tujuh kata dalam Mukadimah UUD 1945; Menolak apabila Islam dijadikan dasar ideologi negara; Menolak UUD 1945 dijiwai oleh Piagam Jakarta; Menolak klausal “…tidak menjadikan umat telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing” ; Menolak RUU Pernikahan (1976) yang didasarkan pada kaidah-kaidah hukum Islam (syariat); Menolak SK Menteri Agama No.70 Tahun 1978 tentang Penyiaran Agama karena bertentangan dengan UUD 1945 kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia; Menolak UU No.2 Th 1989 berkenan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Penjelasan Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi,”Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan.”

Menurut Adian Huseini, umat Islam Indonesia sedang menghadapi masalah yang sangat serius, karena mendapat serbuan besar dari arus Kristenisasi, Liberalisasi, sekulerisasi. Tantangan itu semakin berat dengan berkolaborasinya tiga kekuatan besar di dunia, yaitu Zionis Israel, Imperialis Barat, dan Misionaris Kristen. Sikap Normatif terhadap Non-Muslim Era Globalisasi telah menjadikan dunia semakin mengecil menjadi sebuah kampung (global village) dan pergaulan lintas agama, lintas budaya, lintas etnis, lintas bangsa sudah sangat sulit dibendung. Secara tegas Al-Quran menyebut, kaum yang mempercayai doktrin Trinitas atau mempercayai Isa sebagai Tuhan adalah kaum kafir (Surat an-Anfal ayat 55). Dalam tataran keimanan, Al-Quran memberikan garis yang sangat tegas. Karena itu ketika kaum kafir Mekah mengajak Muhammad saw melakukan praktik ibadah sinkritis-menyembah Tuhan masing-masing secara bergantian dijawab tegas dengan turunnya ayat al-Kaafiruun: “Katakan (Muhammad) Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak kan pernah menyembah apa yang kamu sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Karena itu sangat mengherankan jika sebagian umat muslim terutama kalangan pejabat tinggi dan tokoh agama di Indonesia dalam berbagai acara seperti saat perayaan Malam Tahun Baru melakukan praktek doa bersam lintas agama. Mereka khususnya umat Islam tidak mempedulikan lagi bahwa doa adalah ibadah yang tata caranya sudah diatur dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Sejarah Nabi Muhammad saw dipenuhi dengan berbagai peperangan. Dalam perang, yang berlaku adalah hukum perang: boleh membunuh lawan. Sejumlah ayat Al-Quran juga memerintahkan kaum muslim berperang. Seperti QS. al-baqarah ayat 190-191. Setelah turun ayat itu, Nabi saw memerangi orang orang yang memeranginya dan kaum muslim diperbolehkan berperang secara ofensif dan tidak harus menunggu diserang terlebih dahulu. Perintah itu yang dijalankan oleh Rasulullah saw dan dilanjutkan oleh para khalifah dengan melakukan futuuhaat (pembukaan) wilayah Islam keseluruh dunia.

Secara sederhana dapat disimpulkan sikap kaum muslim terhadap kaum nonmuslim: ”Janganlah mengganggu Islam atau kaum muslim!” Jika kaum muslim diganggu, agama, diri, dan kehormatan mereka, maka tidak ada jawaban lain bagi muslim selain membela agama, diri dan, kehormatan mereka. Jika perlu, hal itu dilakukan dengan Jihadfiisabilah (war). Kristenisasi bukanlah soal sepele bagi kaum muslim, karena selain bertujuan mengkristenkan kaum muslim misi itu juga bertujuan menjauhkan kaum muslim dari agamanya dan menghancurkan aqidah kaum muslim. Sebenarnya tidak ada kaum muslim yang normal yang mendukung aksi Kristenisasi (pemurtadan) terhadap kaum muslim. Kristenisasi pasti dianggap sebagai suatu al-munkar dimana kaum muslim diperintahkan Allah untuk mencegah dan menghentikannya. Gerakan Kistenisasi/pemurtadan terhadap kaum muslim dikategorikan sebagai kejahatan kelas berat. Sebab, dalam pandangan Islam murtad (mengganti agama Islam menjadi agama lain) merupakan tindakan kriminal berat.

Begitu sensitif dan seriusnya persoalan murtad ini, sehingga kaum muslim menolak pasal 18 deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang memberikan jaminan hak “murtad” kepada setiap orang. Terhadap orang yang menerima konsep bebas nikah dan pindah agama dalam HAM itu sebagai hal yang universal. HAM menjadi dilema bagi kaum muslim, karena barat memaksa nilai dan makna HAM kepada dunia Islam. Dalam hal murtad, banyak kaum muslim yang sempat bertanya. Jika orang yang murtad mendapatkan sanksi pidana yang sangat berat (pidana mati) bagaimana dengan orang yang dengan sengaja melakukan usaha pemurtadan, seperti kaum misionaris Kristen di dunia Islam? Pada prisipnya dalam kasus Kristenisasi (pemurtadan) terhadap orang-orang Muslim, kaum muslim memang diwajibkan untuk mencegah dan menghentikan tindak kemungkaran tersebut. Itu prinsip. Soal cara apakah dengan tangan lisan atau sekedar dengan hati adalah persoalan berikutnya.

Namun tugas untuk menegakkan Kerajaan Allah di negeri muslim yang menjadi kewajiban gereja ternyata bukan perkara mudah meskipun pahlawan-pahlawan Injil sudah mengerahkan segenap usaha mereka. Bahkan hingga kini soal gereja masih menjadi masalah besar menyusul meletusnya konflik-konflik SARA di Indonesia. Kalangan Kristen sudah menjerit melihat gereja-gerejanya dirusak dan dibakar. Seperti yang diungkapkan oleh Pendeta Eka Darmaputera, “Kehadiran kita semakin dilecehkan dan diremehkan. Kita dibiarkan seperti anjing-anjing menggonggong sementara kafilah terus berjalan. Atau anjing-anjing buduk, yang dikejar-kejar dan dilempar-lempar-just for fun. Amat menyakitkan”. Menurut JM Pattiasina, Mantan Sekjen PGI, Sidang Raya Dewan Gereja Dunia mencatat adanya perlakuan diskriminatif atas kelompok Kristen di Indonesia dengan dibakarnya lebih dari 500 gereja dalam kurun waktu 32 tahun terakhir. Dunia (Kristen) Internasional sangat gusar melihat berbagai pengerusakan gereja di Indonesia. Frans Magnis Suseno mengatakan, bahwa negara RI adalah juara dunia dalam hal pengerusakan atau pembakaran rumah ibadah.

Hasil investigsai tim yang diterjunkan KISDI dan majalah Media Dakwah keberbagai wilayah kerusuhan ketika itu, dan pencermatan terhadap berbagai fenomena sosial selama bertahun-tahun yang dapat dikatakan sebagi pemicu kerusahan SARA tersebut, adalah: Adanya kesenjangan sosial, ekonomi dan pendidikan yang parah; Persoalan dalam penyebaran agama Kristen di tahun 1970-an dan 1980-an, sikap arogansi kekuasaan dan kebobrokan birokrasi pemerintah; Rekayasa pihak tertentu untuk mencapai tujuan pilitiknya. Selain itu Djohan Efendi dan Abdurrahman Wahid juga mengatakan, “Ini (pengerusakan gereja) terjadi karena selama ini para mubaligh dan media massa menanamkan rasa benci dan permusuhan kepada para penganut agama lain. Jadi rasa tidak senang terhadap kalangan itu sudah tertanam dalam di bawah sadar umat.” Selain itu Abdurrahman Wahid juga menjelaskan mengapa massa mudah mengamuk dalam kerusuhan diberbagai kota. Katanya, ”Karena selama 40 tahun ini pendidikan dan dakwah Islam bersifat memusuhi agama lain. Kalau mayoritas diajari begitu, kan lama-lama menjadi beringas.

Agama dianggap sebagi sumber konflik; Oleh karena itu dalam pemilihan Presiden dan Wakil presiden tahun ini Kepala Departemen Diakonia HKBP Pdt. Nelson Siregar selalu menyuarakan, “Masing-masing pihak bersepakat untuk mencari titik temu dibidang sosial kemasyarakatan dan kenegaraan tanpa mengutak-atik konsep teologis yang dianggap baku. Apa pun kenyataan yang ada, komunikasi perlu terus dijalin melalui berbagi forum komunikasi antar umat beragama. Bangsa Indonesia membutuhkan munculnya kepemimpinan yang baik, pemimpin yang memberikan teladan hidup dan sanggup mengayomi serta memberikan jalan keluar dari krisis yang dihadapi bangsa; pemimpin yang kuat yang dihormati dan disegani; pemimpin yang cerdas, jujur, amanah, dan dapat berkomunikasi dengan baik; pemimpin yang mampu mengatur dan mampu menyelesaikan berbagai konflik yang ada di tengah masyarakat; pemimpin yang mampu menjadi perekat antar komponen bangsa yang mungkin bertentangan satu dengan lainnya.

Diakonia HKBP yang Inklusif

Melihat pergumulan di atas, HKBP menetapkan Tahun 2009 menjadi tahun Diakonia. Dan telah berjalan kurang lebih enam bulan. Sesuai buku Panduan Tahun Diakonia 2009 banyak hal yang telah dilakukan dan dikerjakan HKBP mulai dari Tingkat Pusat, Distrik, Resort sampai tingkat Jemaat. Diakonia HKBP menjalankan programnya dengan iman kepada Yesus Kristus yang di dorong oleh cinta kasih memberi dan tidak pernah memaksa. Diakonia HKBP mengajak semua warga jemaat untuk bersaksi dalam hidupnya melalui kata-kata dan perbuatan dan keteladanan. Dan membiarkan orang-orang melihat, mempertimbangkan dan mengambil keputusan atas apa yang didengar dan disaksikannya melalui pelayanan tersebut.

Diakonia HKBP berusaha memberikan wacana berpikir atas semua masalah di atas semakin besar adalah karena kita semua terlalu arogan dengan pemahaman agama yang kita miliki, seolah-olah kita sudah memahami semua maksud dan kehendak Tuhan, tidak takut-takut kita mau saling mencemooh, merendahkan kitab suci dan isi ajaran, tanpa memahami betul ajaran tersebut. Kita terlalu suka menggeneralisasi akan suatu hal. Banyak hal yang terlalu digeneralisir mengenai sikap-sikap dan tindakan kekristenan yang dikutip dari sebagian topik lalu mengangkatnya menjadi penyebab utama. Diakonia HKBP menekankan perlunya saling keterbukaan dalam dialog dan komunikasi yang jujur dan baik. Kita semua harus menjadi pengayom serta mampu memberikan jalan keluar dari krisis yang dihadapi bangsa; dan mampu mengatur dan menyelesaikan berbagai konflik yang ada di tengah masyarakat; mampu menjadi perekat antar komponen bangsa yang mungkin bertentangan satu dengan lainnya.

Diakonia HKBP mengajak gereja harus bisa menunjukkan bukan saja eksistensinya tetapi manfaat dari eksistensinya itu bagi masyarakat. Berani menceburkan diri dalam masa depan ke dalam masa depan yang sepenuhnya terbuka, mengeksplorasi seluruh kemungkinan demi kepentingan kemanusiaan. Gereja harus mau berjuang demi kesejahteraan setiap dan semua orang.Yakin di dalam keanekaragaman agama tersimpan potensi perdamaian. Mampu membangun dasar-dasar teologi yang memungkinkan kita membuka diri terhadap situasi yang baru. Agama tidak menyelamatkan, yang menyelamatkan adalah Yesus Kristus. Jalan satu-satunya bukan agama, tetapi Yesus Kristus. Agama adalah jalan bukan tujuan. Jika agama menjadi tujuan akibatnya tragis, penuh kebencian, tidak bisa saling menerima apa adanya. Pada hal Yesus Kristus yang kita imani itu menerima orang seperti apa adanya.

Diakonia HKBP mengajak kita untuk mau menjadikan seluruh hidup dan karya kita sebagai bentuk pelayanan dan melakukannya dengan seluruh hati, seluruh cinta kasih. Persekutuan yang harus di bina adalah persekutuan yang bersaksi dan melayani. Kesaksian yang harus dilakukan adalah kesaksian oleh persekutuan dan kesaksian yang dibarengi oleh pelayanan. Pelayanan adalah di dalam persekutuan dan oleh persekutuan dan pelayanan merupakan kesaksian. Melakukannya dengan kerendahan hati dan penyangkalan diri, empati dan simpatik, beroreintasi kepada kebutuhan orang yang dilayani serta bersifat holistik. Yesus mendirikan gereja sebagai alat bukan tujuan. Gereja terarah ke luar tidak kepada dirinya sendiri. Terarah kepada Allah dan terarah kepada dunia. Memberikan kemauan, kesungguhan untuk bersama-sama dengan mereka mencari jawaban. Kalaupun tidak ketemu jawaban setidaknya kita bersama-sama dengan mereka dan biar mereka tidak merasa sendirian dalam mencari jawaban. Oleh karena itu identifikasi, solidaritas menjadi bagian yang sangat penting. Yesus Krsitus adalah Allah yang hidup, Allah yang memberikan harapan kepada dunia dan manusia. Mungkin kita belum menemukan jalan keluar yang terbaik, tetapi paling tidak jangan berhenti atau mundur tetapi mari kita hidup dengan pengharapan berpegang pada iman dan mengarahkan hidup ketujuan yang besar, terus berjuang tidak cepat putus asa dan menjadi berkat bagi semua orang.
Salam tahun Diakonia: “Sejahtera Masyarakat, Sejahtera Gereja”.

Penulis sekarang melayani di Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung
Sekhus Kadep Diakonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar