JUBILEUM 125 TAHUN HKBP SIBUNTUON RESORT BALIGE

JUBILEUM 125 TAHUN  HKBP SIBUNTUON RESORT BALIGE
Jubileum

Kamis, 27 Agustus 2009

"Bergesernya makna Pelayanan"

Bergesernya Makna Pelayanan
By: Pdt. Maruasas SP Nainggolan S.Si Teol

Pendahuluan
“Panggilan dan Pelayanan” begitulah judul tulisan ini. Saya pikir kata ini tidak asing lagi bagi kita. Siapa yang tidak mengerti apa itu “panggilan” dan apa itu “pelayanan,” itu kan hal yang sudah biasa?” begitulah juga pikiran saya ketika saya diminta membuat tulisan ini. Ketika kami diterima menjadi calon pendeta di HKBP dan mengikuti Latihan Persiapan Pelayan 2007 (LPP I) di Sipoholon, syarat utama untuk bisa ikut LPP I adalah harus membut tulisan minimal lima halaman tentang apa itu “panggilan” dan apa itu “pelayanan”. Dan selama pelatihan di sana (Sipoholon) selama sepuluh hari sesi dan tema selalu dihubungkan dengan makna “panggilan” dan “pelayanan”. Karena begitu pentingnya makna panggilan dan pelayanan ini, saya mencoba menuliskan pemahaman saya mengenai makna “panggilan” dan “pelayanan” dalam tulisan ini.

Sebelum memulai tulisan ini, saya mau mengutip tulisan seorang yang telah mengabdikan panggilan dirinya menjadi pelayan Tuhan selama ia hidup, di saat-saat terakhir ketika dia akan meninggal. Dia adalah sosok hamba yang saya kagumi selama saya belajar teologi di STT Jakarta sampai sekarang, dialah Almarhum Eka Darmaputera.

Di akhir bukunya yang berjudul “Kepemimpinan Dalam Perspektif Alkitab” dia menulis sebuah surat dan mengatakan: “Rekan-rekan sepelayanan, kawan-kawan seperjuangan dan saudara-saudaraku seiman, yang saya kasihi dengan segenap hati! Terpujilah Tuhan yang berkenan mengantarkan saya melalui perjuangan panjang kurang lebih 21 tahun lamanya! Selama 21 tahun itu, saya akui, saya tidaklah seperkasa singa, sekuat gajah atau setegar baja. Saya adalah “darah” dan “daging”, manusia “biasa-biasa” saja, yang sekedar berusaha untuk setia kepada Tuhannya. Tidak jarang, 21 tahun itu saya lalui dengan amarah, cemas, dan rasa terluka di jiwa. Namun demikian pada saat yang sama tahun-tahun tersebut juga adalah tahun-tahun yang amat “kaya” dan limpah dengan rahmat dan berkat. Saya disadarkan, betapa Tuhan yang saya ikuti tak selalu menyenangkan, tapi tak pernah Ia mengecewakan. Saudara-saudara sekalian, kini saya sudah hampir tiba di penghujung jalan, berada di etape-etape akhir perjalanan hidup saya. Para dokter menyatakan tidak ada lagi tindakan medis yang siginifikan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan saya,…

Dalam situasi seperti ini ketika tangan dan upaya manusia tak mampu lagi melakukan apa-apa yang bermakna, kita bersyukur karena bagi orang beriman selalu ada yang amat berarti yang dapat dilakukan. Dan itulah yang kita lakukan malam ini: BERDOA. Kita menyatakan penyerahan diri kita, seraya mempersilahkan tangan-Nya bertindak dan kehendak-Nya berlaku dengan leluasa. Namun demikian, ada permintaan saya. Bila anda berdoa untuk saya-baik di sini maupun di mana saja, saya mohon janganlah terutama memohon agar Tuhan memberi saya kesembuhan, atau mengaruniai saya usia panjang, atau mendatanggkan mukjizat dasyat dari langit! Jangan! Biarlah tiga perkara tersebut menjadi wewenang dan “urusan” Tuhan sepenuhnya. Saya hanya mohon di doakan agar sekiranya benar ini adalah tahap pelayanan saya yang terakhir, biarlah Tuhan berkenan memberikan saya keluarga dan keteguhan iman kedamaian dan keikhlasan dalam jiwa. Semoga Tuhan berkenan menganugrahi saya perjalanan yang tenang, kalau boleh tanpa kesakitan dan tak mahal biayanya, sampai saya tiba di pelabuhan tujuan. Dan kemudian biarlah tangan Tuhan dengan setia terus tanpa putus.”

Bergesernya Makna Panggilan dan Pelayanan

Tentunya semua kita telah mengenal setidaknya pernah mendengar nama Alm. Eka Darmaputera, saya sengaja mengutip tulisan Alm. Eka Darmaputera, sekalipun di akhir-akhir dia akan meninggal, Alm. Eka menunjukkan bagaimana pribadi seorang yang telah menerima panggilan dan pelayanan hidupnya untuk Tuhan, setia, teguh jujur dan selalu berdoa dan bersyukur kepada Tuhan. Bahwa untuk Tuhanlah segala-galanya dan kehendak Tuhanlah yang jadi. Yang menjadi pertannyaan sekarang, apakah kita juga sudah memaknai jiwa panggilan dan pelayanan kita dari Tuhan saat ini?

Seorang filsuf ateis, Friedrich Nietzsche pernah ditanya mengapa ia mempunyai pandangan yang sangat negatif terhadap umat Kristiani. Ia menjawab, “Saya akan bisa percaya kepada Tuhan bila mereka yang percaya Kristen, sedikitnya lebih terlihat kelakuannya sebagai orang Kristen.” C.S Lewis dan Rober Noi, seorang penulis Kristiani yang terkenal, pernah menulis bahwa gereja bagi dia bukanlah sarana penolong yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, bahkan sebaliknya menjadi penghambat. Banyak gereja sekarang yang menjadi tempat pamer, pamer pakaian, mobil, status, dan harta. Gereja juga secara tidak langsung dijadikan tempat untuk bertukar gosip. Khotbah-khotbah banyak dibumbui berbagai macam lelucon dan menjadi bahan ketawaan.

Gereja sudah menjadi klub-klub yang eksklusif, yang hanya orang-orang sealiran saja yang diterima menjadi anggota jemaatnya. Orang-orang berduit tentunya ingin berkumpul dengan orang yang berduit pula. Hamba Tuhan pun lebih mirip aktor utama dalam sebuah show. Selain pintar bicara juga pandai melawak. Banyak orang termasuk pendeta yang memilih hotel berbintang untuk kebaktian daripada gedung biasa, ruang ber-AC, berlantaikan marmer dan berkarpet tebal.

Gereja saat ini sepertinya menutup mata akan situasi dan kondisi masyarakat dan warga jemaat yang menderita akibat situasi bangsa dan negara kita sekarang ini, seperti halnya perekonomian rakyat yang memprihatinkan, angka pengangguran yang tinggi, kesempatan kerja rendah. Di sisi lain produksi barang semakin berkembang dan spesialisasi pembagian kerja semakin beragam dan meningkat, tetapi manusia semakin banyak yang serakah. Berlomba-lomba mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa harus bersusah payah untuk bekerja.

Menurut Max Weber, dalam etika Protestan menyangkut gagasan tentang panggilan (beruf dalam bahasa Jerman atau calling dalam bahasa Inggris). Konsep panggilan (beruf) ditemukan oleh Martin Luther tatkala menerjemahkan buku Yesus Sirach dalam Perjanjian Lama bab XXI ayat 20-21. Dalam salah satu terjemahan resmi bahasa Indonesia, kedua ayat itu berbunyi: Tetaplah setia kepada tugasmu, abdikanlah dirimu kepada-Nya dan menjadi tualah kamu dalam pekerjaanmu (Sirach XI, 20) dan jangan resah karena keberhasilan para pendosa tetapi percayalah kepada Allah dan bertekunlah dalam usaha-usahamu. (Sirach XI, 21). Inilah pertama kalinya kata “beruf” (panggilan) dalam bahasa Jerman dipakai dalam artinya yang sekarang, dalam arti bersifat duniawi. Hal ini kira-kira sama dengan apa yang terjadi dalam bahasa Inggris, di mana kata “vocation” dan ajektif “vocational” sudah mendapat arti yang benar-benar sekuler. Menurut tafsiran Max Weber, dengan cara itu Luther mengembangkan suatu ajaran baru yang belum dikenal dalam dunia teologi sebelumnya, yaitu bahwa seorang yang menjalankan tugasnya di dunia dengan setia dan bertanggung jawab sudah mencapai taraf tinggi dalam kesempurnaan moral yang didambakan oleh setiap orang yang ingin mencapai kesempurnaan hidup.

Orang tidak perlu meninggalkan dunia dengan masuk biara umpamanya untuk mencapai kesempurnaan hidup, tetapi justru dengan tinggal di dunia dan menjalankan tugas yang diberikan padanya karena kedudukannya dalam dunia itu. Dengan demikian, perolehan harta benda dapat dilihat sebagai pertanda bahwa Allah berkenan pada pekerjaan yang tekun. Max Weber mengatakan, efek dasar yang terjadi adalah lahir dan berkembangnya kapitalisme. Menurut Marx, kapitalisme adalah bangunan sosial yang memanusiakan benda, artinya benda dihargai sebagai sesuatu yang utama dalam kehidupan. Benda dicintai dan dipikirkan, dikehendaki sepenuh hati.

Benda disayang, dipuja-puja sehingga siapa pun pemiliknya akan turut terimbas oleh nilai benda tersebut. Benda itu mulai dari uang, mobil mewah, ponsel terbaru, pakaian mode terbaru dan sebagainya. Tanpa benda jiwa terasa hampa. Saat benda hilang, jiwa terasa tersayat-sayat. Dan tak ada kebahagiaan yang melebihi saat-saat untuk pertama kalinya bisa memiliki benda tersebut. Benda diperlakukan seperti layaknya makhluk berjiwa. Ini adalah situasi yang disebut dengan reifikasi. Hasil pekerjaan manusia itu ditempatkan sebagai sesuatu yang derajatnya melebihi manusia itu sendiri.

Uang telah dianggap kebaikan tertinggi, karenanya siapa pun pemiliknya adalah baik. Uang telah menyelamatkan nyawa banyak orang dari kerepotan dan ketidak-jujuran. Orang yang dungu pun akan dianggap pintar bila memiliki uang. Uang mampu membeli dan mengatur siapa saja orang yang mau diperintah dan disuruh. Berkat uang setiap manusia mampu memenuhi apa saja hasratnya. Uang telah mengubah semua ketidakmampuan manusia menjadi kebalikannya. Uang itu tampil sebagai daya pembalikan, baik yang terhadap individual maupun terhadap ikatan-ikatan masyarakat. Ia mengubah kesetiaan menjadi ketidak-setiaan, cinta menjadi kebencian, kebencian menjadi cinta, kebajikan menjadi kejahatan, kejahatan menjadi kebajikan, pelayan menjadi tuan, tuan menjadi pelayan, kebodohan menjadi kepandaian dan kepandaian menjadi kebodohan.

Refleksi Panggilan dan Pelayanan
Kita adalah gereja. Kita semua terpanggil untuk melayani. Kehadiran gereja mesti dirasakan oleh dunia. Gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia. Ia dapat disebut sebagai gereja jika ia dapat dirasakan oleh dunia yang berada di luar dirinya. Itu berarti gereja tidak dapat memisahkan dirinya dari dunia di mana ia hadir. Persoalan masyarakat atau dunia menjadi persoalan gereja. Inilah dasar panggilan dan pelayanan. Dengan demikian, kehadiran gereja lebih bermakna jika ia menyadari dan mampu menyikapi apa yang menjadi tantangan dan persoalan masyarakat di sekitarnya (Markus 16:15; Markus 10:45; Lukas 4:18-19).

Seperti Tuhan Yesus yang memusatkan hidup-Nya pada orang, bukan pada benda. Yesus memberi hidup bagi orang lain. Hidup Tuhan Yesus tidak berpusat pada diri sendiri atau kepentingan diri-Nya. Yesus hidup untuk mengasihi orang lain. Bahkan Tuhan Yesus mati bagi orang lain. Seperti surat Paulus kepada Jemaat Roma, mengatakan “Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri ”(Roma 14:7). Berarti kita hidup bukan untuk diri sendiri melainkan kita hidup untuk orang lain. Jika kita sudah mampu hidup bagi orang lain, maka materi tidak lagi menjadi tujuan hidup.

Hidup bagi orang lain adalah hidup yang mengasihi karena mengalami hidup yang berkelimpahan. Inilah yang dimaksud dengan dasar panggilan dan pelayanan
Hilang dan rusaknya jiwa panggilan dan pelayanan ketika semangat panggilan pelayan itu bergeser dalam usaha dan jerih payah untuk mencari materi. Memang materi dapat mengantarkan seseorang dan masyarakat pada tatanan hidup yang lebih mapan. Tetapi cenderung lebih berorientasi pada diri sendiri, dan kepentingan sendiri. Pandangan yang muncul dalam dirinya adalah bahwa apa yang dia peroleh dengan susah payah merupakan haknya untuk dinikmati sendiri, hal ini membuatnya kurang peka dan kurang peduli dengan kondisi sosial disekitarnya, memandang rendah orang lain sehingga sulit berbagi dan memberi. Hal ini akan semakin mempertajam jurang kepincangan sosial. Dalam mengumpul harta dan barang-barang mewah dia akan dikuasai oleh sifat ketamakan dan orang seperti itu akan susah membagi hartanya pada orang lain.

Perhitungan untung rugi pun menjadi pertimbangan utama, tidak hanya dengan sesama kadang juga dengan Tuhan. Contoh dalam kisah Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:1-11) jelas menunjukkan bahwa berbagi dengan Tuhan saja (yang sebenarnya semua adalah milik Tuhan) tidak bersedia apalagi berbagi dengan sesama manusia. Berlimpah secara materi tetapi nihil secara spiritual. Hati pun menjadi tumpul, tidak bening, serta tidak memiliki sensitvitas ketuhanan dan kemanusiaan. Tidak mempedulikan nilai-nilai moral seperti kesederhanaan, kedermawanan serta persahabatan, tidak memikirkan nasib orang lain. Tetapi tenggelam dalam kemewahan hidup. Membelanjakan hartanya dengan membeli dan mengumpulkan barang-barang mewah dan pakaian-pakai yang mahal. Perasaan diri akan lebih dipandang, diterima, diakui dalam masyarakat dalam bentuk berbagai atribut yang menempel di badan atau yang dimiliki.

Hal ini mengakibatkan dorongan untuk berperilaku konsumtif. Tidak mengherankan bila manusia cepat melupakan hal-hal yang baik, karena seseorang yang dikuasai oleh hasrat untuk menumpuk materi, tidak ada tempat untuk berbuat kasih bagi yang lain.
Secara sederhana mungkin dapat kita katakan, bahwa Alkitab tidak mengidealisasikan baik kekayaan dan kemiskinan, melainkann kecukupan dan kesedarhanaan. Injil pada hakikatnya tidak membedakan antara orang kaya dan miskin, tetapi orang yang memiliki terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kehidupan yang bermewah-mewah memang dikecam, tetapi bukan berarti kemelaratan diagung-agungkan. Hidup yang sederhana adalah hidup yang menghindari kemewahan, namun mempunyai cukup segala sesutau yang dubutuhkan. Pemerataan yang dimaksudkan bukanlah agar orang-orang kaya menjadi miskin, melainkan agar semua orang mempunyai apa yang mereka perlukan.

Yesus memang bukan orang kaya, tetapi ia juga bukan seorang pengemis. Murid-muridnya tidak hidup dalam kemewahan, namun juga tidak dalam kemelaratan. Yesus tidak memerintahkan agar orang muda yang kaya itu membuang kekayaannya, namun menjualnya dan membagi-bagikannya kepada orang miskin. Orang yang menolak kekayaan tentu saja tidak mungkin melaksanakan apa yang diharapkan Paulus untuk suka memberi dan membagi. Yang amat dikecam di dalam Alkitab adalah ketamakan. Sebab ketamakan itu adalah pencerminan dari sikap yang melihat kekayaan itu sebagai tujuan bagi dirinya, sikap yang mempertuhankan dan mempertuankan kekayaan, sikap yang melihat semua objek untuk diperas dan diperah bagi kekayaan pribadi.

Pikiran mempengaruhi emosi dan perasaan. Perasaan akan mempengaruhi tindakan. Oleh karena itu dengan memperbaharui dan melatih pikiran, dengan pimpinan Roh Kudus, diharapkan kita mampu menangkal godaan-godaan gaya hidup materialis (Rm.12:2, Kol. 3:2, Flp. 4:8). Kalau kita bisa menghargai hidup lebih dari pemenuhan kebutuhan (Mat. 6:25). Maka kecemasan yang berlebihan tidak akan mendorong kita mengejar materi, menimbun harta untuk mengatasi ketakutan dan merasa kekurangan. Yesus mengingatkan mana yang primer dan mana yang sekunder. Materi hanyalah sementara dan jangan sampai mengaburkan tujuan hidup yang sebenarnya. Allah adalah sumber berkat.

Semua kekayaan berasal dari Allah dan patut disyukuri. Tidak ada kepemilikan yang abadi terhadap benda-benda materi. Semua harta benda bisa menjadi ketinggalan zaman, rusak, aus, atau hancur karena alam. Semua harta benda bisa hilang karena dicuri, salah mengelola, atau karena kecerobohan. Segala apa yang kita pegang dalam tangan adalah dipinjamkan oleh Allah. Oleh karenanya yang terpenting adalah menggunakan harta benda dari Allah itu untuk maksud dan tujuan Allah secara bertanggung jawab.
Hidup yang berkelimpahan adalah hidup yang menghidupkan perkataan Yesus di dalam perkataan dan perbuatan setiap hari. Inilah arti menyembah Yesus.

Menjadi murid-Nya berarti mengikuti jejak dan teladan-Nya. Perkataan-Nya menjadi pelita yang menerangi jalan kehidupan orang percaya menuju murid sejati. Sama seperti Tuhan Yesus memilih hidup sederhana sebagai keharusan teologis, demikian juga hendaknya orang-orang yang percaya pada-Nya. Hidup sederhana merupakan keharusan teologis. Hidup sederhana adalah panggilan hidup yang sejati. Melayani bukan sekedar membagi kelebihan kita. Oleh karena itu melayani sesungguhnya adalah suatu panggilan. Panggilan bagi setiap orang dan semua orang. Melayani bukanlah sebagian saja dari tugas kita, melainkan seluruh diri kita. Di manapun kita berada, dan apapun yang kita lakukan kita mesti melakukannya untuk kemulian Allah Bapa yang Maha Kuasa. Amen
Penulis: Sekhus Kadep Diakonia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar