JUBILEUM 125 TAHUN HKBP SIBUNTUON RESORT BALIGE

JUBILEUM 125 TAHUN  HKBP SIBUNTUON RESORT BALIGE
Jubileum

Kamis, 04 Maret 2010

Injil ke Seluruh Kosmos

Beritakan Injil untuk seluruh kosmos
Markus 16:15
by: Pdt.Nelson Siregar(Kadep Diakonia HKBP)

Tema:
”Yesus adalah jalan, kebenaran dan hidup”
(Yoh. 14:6a)

subTema:
“Peliharalah ciptaan TUHAN dengan bijaksana dan taat,
demi kehidupan”


I. Pengantar

Saya sangat bersyukur jika saya berkesempatan untuk mengutarakan pemikiran saya mengenai ”realitas lingkungan hidup” yang kita alami pada saat ini. Makalah ini saya tuliskan berdasarkan pemahaman saya mengenai lingkungan hidup berdasarkan fakta dan data yang diperoleh dari berbagai sumber, dan ini hanyalah sebagai penghantar kita untuk bertukar pendapat untuk saling memperkaya dan memperlengkapi pengetahuan kita akan genting dan pentingnya pemeliharaan keseimbangan lingkungan hidup saat ini. Dengan demikian saya berharap melalui pertemuan kita ini dapat merumuskan strategi kita dalam membangun komitmen dan kepedulian masyarakat terhadap fungsi konservasi kawasan hutan, khususnya yang berada di daerah Batang Toru.

Terkait dengan topik yang disampaikan kepada saya dengan bebas membahas penjabaran tema dan subthema seputar lingkungan hidup ini, maka secara sistematika dari uraian saya kemudian ini adalah: Pertama, akan diarahkan pada realita dan konsepsi pandangan umum merespond tantangan lingkungan hidup. Kedua, kaitan motiv teologi melegitimasi sikap gereja terhadap lingkungan. Ketiga, apa yang sudah dilakukan dan akan dilakukan gereja. Hal itu perlu dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk dikaji dan didiskusikan bersama.

II. Realita tantangan dan konsepsi pandangan tentang lingkungan hidup

Topik lingkungan hidup bukanlah tema baru dalam diskusi di tengah kehidupan kita beroikumene, bermasyarakat dan berbangsa. Di Indonesia sendiri sejak tahun 70-an sudah berbagai kajian dan respon terhadap masalah lingkungan dari sikap yang reaktip, responsip dan regeneratip. Namun belakangan ini nampaknya masalah lingkungan hidup sudah semakin rumit, sementara tantangan lingkungan sudah senantiasa mengancam kehidupan umat manusia.

Walaupun demikian kerumitan tersebut masih dapat ditelaah. Ada beberapa tanggapan mengenai kajian masalah dan tantangan lingkungan hidup. Pertama, ada yang mengkaji bahwa masalah lingkungan hidup tidak ada kait mengkaitnya dengan kesalahan manusia. Kejadian gempa, tsunami misalnya adalah murni kejadian alam saja. Karena itu untuk merespon tantangan tersebut agar tidak menimbulkan banyak korban terhadap manusia, maka dilakukan telaahan dengan pendekatan teknologis, antara lain mengadakan studi kajian sejarah kejadian-kejadian alam dan prediksi pengulangannya.

Misalnya untuk kejadian alam di Pantai Barat Sumatra perlu dilakukan penelitian sesar dan zona gempa melalui displin ilmu terkait geologi, geofisika dan seismologi. Kemudian diikuti dengan analisis bencana atau amdal, dan juga mendesak agar pemerintah perlu mengeluarkan peraturan , termasuk membentuk satgas penanggulangan bencana, penyediaan anggaran yang cukup dan mengatur kebijakan pengendalian masalah lingkungan hidup.

Tindakan lain dilakukan dengan pemahaman yang benar tentang perilaku bencana. Indonesia dikenal sebagai negeri kaya bencana gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi, maka dapat ditelusuri kejadian-kejadiannya dan apa yang harus dilakukan. Meletusnya gunung Krakatau di selat Sunda pada tanggal 27 Augustus 1883 menjadi sejarah bencana yang tergolong terbesar di dunia. Gempa di Aceh berskala 8.7 pada skala Richter di Barat Aceh telah mengakibatkan tsunami yang menewaskan kurang lebih 250 ribu jiwa. Tayangan televisi menambah effek drama dari bencana gempa bumi. Efeknya bukan seketika, tetapi mendunia.

Dari pengalaman itu menjadi penting melakukan edukasi dan sosialisasi yang benar kepada masyarakat mengenai bencana alam. Saatnya secara sadar mengajarkan kepada masyarakat tentang apa-apa yang harus dilakukan apabila terjadi bencana alam, bahkan bila perlu memasukkan sosialisasi kejadian alam ini kedalam kurikulum sekolah-sekolah menengah. Untuk mengatur koordinasi aksi membantu korban, maka lembaga pemerintah dan lembaga disaster perlu didorng untuk merumuskan bersama lingkaran penanggulangan disaster. Jika bencana terjadi, maka perlu disediakan bantuan sembako, kemudian berturut-turut melakukan bantuan lanjutan berupa rehabilitasi, rekontruksi, mitigasi dan prepardness.

Respon kedua muncul dari kalangan aktivis lingkungan hidup. Mereka telah berpuluh tahun sejak tahun 1970 melakukan perjuangan kritis dalam upaya menghentikan eksploitasi alam dan kerusakan lingkungan di negeri ini. Proyek penanaman sejuta pohon ternyata tidak mengurangi masalah lingkungan hidup kearah yang lebih baik. Sebab dilain pihak terjadi pengerukan sumber daya alam yang kini sudah semakin menipis, dan pada hal bencana lingkungan telah makin kerap terjadi. Advokasi lingkungan hidup semakin rumit untuk diharapkan dapat dimenangkan dalam menghadapi peradilan dan percaturan politik, baik nasional maupun di daerah.

Hal itu bukan sekedar ungkapan skeptis, tetapi lebih karena aktivis lingkungan yang selama ini berbuat maksimal, merasakan apapun yang dilakukan seperti membuang air ke dalam keranjang. Menurut catatan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) salah satu lembaga advokasi lingkungan perjuangan masyarakat hampir di semua gugatan hukum atas pencemaran dan kerusakan lingkungan di segenap aras selalu dinyatakan kalah, lebih-lebih gugatan pada raksasa tambang, pengusaha perkebunan dan perkayuan .

Sepertinya system penegakan hukum di negeri ini sudah menjadi sahabat atau rumah yang aman bagi para penjahat lingkungan. Mereka selalu berhasil melakukan perlawanan dengan meredam setiap gerakan dengan berbagai cara, antara lain penggunaan ahli dari perguruan tinggi, dengan membiayai berbagai penelitian atau agenda lain dalam usaha mendukung pencitraan perusahaan. Tujuannya untuk memenangkan opini dan dukungan public. Jika hal itu tidak berhasil, maka perusahaan juga melakukan penggunaan upaya hukum. Buruknya system peradilan kita memungkinkan perusahaan bermain mata dengan para penyidik, penuntut, dan hakim, serta sudah tentu didukung pengacara yang handal. Sementara dari berbagai pihak ada pula yang sudah tiba pada kajian yang menganggap bahwa penangulangan masalah lingkungan semakin rumit dihadapi sebagai akibat cara kita memperlakukan alam. Gerakan muncul dari tokoh agama.

Statement yang dikemukan adalah setelah mengkaji berbagai fakta yang terjadi. Apabila pertumbuhan jumlah penduduk dunia, industrialisasi, pengotoran lingkungan, produksi bahan pangan dan penghabisan bahan-bahan mentah alamiah yang sedang berlangsung sekarang diteruskan tanpa perubahan, maka batas-batas pertumbuhan absolut di bumi akan tercapai seratus tahun lagi. Karena itu semua pihak harus berubah. Sebab hidup biologis manusia hanya akan berlangsung selama-lamanya, apabila manusia sendiri mau melepaskan pandangannya yang antropocentris .

Statement ini tidak sekedar ungkapan menakut-nakuti. Frans Magnis Suseno menidentifikasi adanya 7 bahaya kerusakan biosfer yang mengancam masa depan umat manusia yakni penghabisan kekayaan alam secara sistematis (eksploitasi alam berjalan terus, maka dalam waktu tidak terlalu lama sumber energi tradisional yang murah tidak dapat dipulihkan kembali dan akan habis), perusakan lingkungan berlanjut (pengotoran, perusakan dan perancunan lingkungan alam, dampak perusakan akibat produksi industri dan sampah ekonomi rumah tangga), pemanasan atmosfer tidak dapat diperbaiki (CO2 yang dikuatirkan mempunyai effek rumah kaca) , lapisan ozon di stratosfer terus menerus mengalami kerusakan berat (ozon melindungi kita dari radiasi ultrajingga yang bisa menyebabkan kanker kulit), padang gurun meluas akibat ulah manusia (setiap tahun lebih dari 200.000 km kuadrat hutan tropis dibabat habis), terjadinya masalah air tawar yang tidak lagi terpenuhi (kebutuhan air minum mulai melampaui persediaan semakin terasa dimana-mana), hama yang semakin resisten (kebal) terhadap obat kimia (sehingga penyakit sifilis semakin sukar diberantas, malaria mulai kambuh kembali, hama wereng menjadi ancaman bagi produksi padi ).


Gambar 2. Kejadian Bencana Alam Tahun 2006-2008
(Sumber: ISDR, CREED, dan EM-DAT)

Kesadaran akan keseriusan masalah dan tantangan lingkungan hidup ini, terutama karena faktor real masalah pemanasan bumi ini telah mendorong Negara-negara di dunia juga terpaksa melakukan kajian khusus sejak tahun 1990 an. Dari konprensi perubahan iklim PBB yang barubaru ini diadakan di Kopenhagen menjelaskan bahwa sepertinya masalah lingkungan masih dapat diatasi dengan pendekatan teknologi dan dengan pendekatan negosiasi diantara negara-negara kaya dan miskin .

Para ahli lingkungan hidup di Kopenhagen menjelaskan bahwa bencana alam yang terjadi sepanjang tahun 2009 lebih dari tiga perempatnya terkait dengan cuaca ekstrim. Gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor merupakan bencana alam yang frikuensinya meningkat dua kali lipat, katastropinya juga bertambah intensitasnya. Daya hancurnya dan ancamannya sangat serius. Tahun 2008 sendiri ada sekitar 36 juta orang harus tergusur oleh fenomena alam ini.

Hal itu masih amat kecil bila dibandingkan dengan jumlah orang yang keamanannya dan sumber kehidupan manusia yang terus menerus dirongrong oleh konsekuensi jangka panjang perubahan iklim. Bahkan jika hal ini berlanjut, maka dikuatirkan pula meningkatnya potensi konflik di dalam dan antarnegara. Itu akan terjadi ketika berbagai komunitas berebut akses sumber daya yang semakin langka, seperti air segar dan lahan pertanian. Kemudian rakyat di Negara kecil yang berada di permukaan rendah akan menghadapi negaranya runtuh berhadapan dengan naiknya laut, kebangsaan, kultur dan identitasnya pun akan tenggelam.


Gambar 3. Kejadian Bencana Alam di Indonesia Tahun 2008
(Sumber: ISDR, CREED, dan EM-DAT

Untuk mengatasi masalah lingkungan hidup tersebut, diserukan agar para pemimpin negara di dunia ini mendorong kesepakatan pengurangan emisi karbon. Tetapi jika hal itu gagal, maka kaum ilmuwan lingkungan hidup menawarkan diadakannya perekayasaan bumi atau geo-engineering. Suatu intervensi teknologi dalam skala besar-besaran. Proses rekayasa tersebut dapat dibagi dalam dua macam. Pertama adalah penghilangan CO2 (carbon dioxide removal /CDR ), penggunaan pohon buatan melalui fertilasi besi samudera. Pilihan kedua dikenal sebagai managemen radiasi matahari (solar radiation management/ SRM), dilakukan dengan memantulkan sinar matahari untuk mengurangi pemanasan global, misalnya dengan menggunakan cermin di angkasa, penyemprotan aerosof di atmosfer, atau penguatan awan. Kedua metode canggih ini tentu dinyatakan menimbulkan effek yang tak dapat dipredikasi, sebab juga tidak akan menanggulangi konsekuensi emisi, bahkan dikuatirkan belum tentu dapat meramalkan akibatnya terhadap pola cuaca dan ekosistem. Dengan demikian skenario kedua tetap dengan mendesak para perunding Kopenhagen untuk mencapai kesepakatan pengurangan emisi karbon. Ini berarti masalah lingkungan hidup tidak mungkin hanya dilakukan dengan pendekatan kecanggihan tehnologi, melainkan harus diatasi dengan pendekatan politis.

Dari ketiga kajian diatas mungkin masih ada beberapa pertanyaan yang sisa, antara lain merespon pertanyaan kenapa masalah lingkungan hidup ini terjadi, apa yang harus dipersalahkan dan siapa yang harus bertanggungjawab menanggulangi masalah tersebut. Dari segi pandangan tentang lingkungan hidup (environmental world views), sampai saat ini dapat disimpulkan dengan tiga sumber dan pandangan :

Pertama: pandangan kaum Neo-liberalis. Penganut aliran ini memandang alam sebagai objek yang menjadi sumber hidup manusia. Karena itu alam diassumsikan sebagai objek untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka alam wajar jika dieksploitasi. Manusia dianggap sebagai pemilik satu-satunya terhadap alam tersebut. Pendekatan dominasi terhadap alam ini, ahirnya menganggap bahwa kerusakan alam sebagai akibat eksploitasi menjadi konsekuensi terhadap alam. Sedangkan dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup dapat dikendalikan cukup dengan meminimalisasinya melalui pendekatan tehnologi. Eksploitasi bisa tetap dilakukan untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup. Agar hal itu tercapai, maka solusinya: perlu memberikan dana terhadap perbaikan lingkungan hidup, seperti dana CDR ( carbon dioxide removal ) dari perusahaan, atau menggunakan metode skema pengurangan emisi dari forestasi dan degradasi hutan (REDD) oleh negara.

Negara berkembang diharapkan dapat memperoleh pendanaan dari negara maju dengan mengurangi pembukaan hutan dan degradasi hutan. Metode ini ditolak oleh kelompok indigenous Enviromental Networks , karena metodologi ini meniadakan peran masyarakat adat dan komunitas lokal mengkontrol pemilik modal dan pengemisi CO2 melalui Negara. Juga pandangan ini dituduh ditopang oleh institusi semacam World Bank (WB). Kesimpulannya: kondisi lingkungan hidup tidak dianggap krisis, hanya perlu perbaikan, bisnis berjalan seperti biasa saja (business as usual). Sementara negara-negara berkembang berada dalam status pengemis dan tergantung. Padahal negara-negara berkembang memiliki potensi dan asset hutan mengendalikan emisi karbon.

Kedua, pandangan kaum bio-environmentalist. Kelompok ini memahami bahwa manusia dan alam adalah dua subjek yang harus saling menghormati. Kerusakan alam terjadi karena eksploitasi manusia terhadap alam, oleh karena itu eksploitasi perlu dihentikan dan perlindungan total terhadap lingkungan hidup seperti hutan, laut, sungai, dll perlu dilakukan. Solusinya, perlu perlindungan khusus terhadap lingkungan hidup, perlu polisi hutan yang kuat, perlu penyelamatan terhadap tumbuhan dan binatang langka yang dilokalisasi disuatu tempat yang aman. Masyarakat lokal perlu dibatasi aksesnya terhadap hutan yang dianggap berkontribusi terhadap pengrusakan hutan. Moratorium terhadap lokasi penting bagi lingkungan hidup dibeberapa tempat didunia. Membuat Taman Nasional yang dilindungi, dan berbagai zonasi konservasi. Pandangan seperti ini umumnya dimiliki oleh LSM Lingkungan seperti WWF. Kesimpulannya: melihat persoalan lingkungan hidup sudah pada tahap krisis yang sangat mengancam, sehingga perlu moratorium.

Ketiga, pandangan kaum ecologi social: pandangan structural terhadap problem lingkungan hidup. Lingkungan hidup dan manusia adalah relasi yang integral, mutual symbioce, relasi yang saling tergantung. Karena itu jika terjadi kerusakan alam, hal itu adalah disebabkan, karena ketimpangan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Sumber daya alam nyatanya dikuasai oleh sekelompok kecil orang atau korporasi. Penguasaan sumberdaya tersebut tidak memiliki akuntabilitas. Akar dari pengrusakan alam/hutan adalah ketimpangan kepemilikan terhadap sumberdaya penting, utamanya tanah. Masyarakat banyak, masyarakat adat, masyarakat yang tanpa modal, masyarakat miskin digusur, dikorbankan demi kepentingan capital.

Solusinya, struktur masyarakat, termasuk kemiskinan harus dibereskan terlebih dahulu, baru bicara perlindungan alam. Kepemilikan yang merata terhadap sumberdaya penting agar dengan sendirinya terjadi kesadaran melestarikan alam. Pandangan ini dimiliki oleh Negara Negara sosialis (atau menuju sosialis) seperti Venenzuela, Kuba, dan Bolivia. Juga LSM lingkungan aras International. Kesimpulannya: krisis lingkungan sekarang terjadi karena krisis social yang telah mendahuluinya.

Dari ketiga faham dasar menjadi jelas posisi umum berbagai pihak mengkaji upaya penanggulangan masalah lingkungan hidup. Kini yang menjadi soal sebelum kita membahas posisi gereja serta program lingkungannya, adalah menjawab salah satu pertanyaan pokok, sejauhmana teologi mengsignifikasi, mendominasi dan melegitimasi ketiga faham diatas. Atau adakah alternatip lain menempatkan posisi gereja berada diluar ketiga scenario tersebut diatas.

III. Motiv teologi melegitimasi gerakan lingkungan hidup

Dari berbagai kajian teologis tentang lingkungan hidup ada berbagai tanggapan yang mengemuka. Umumnya kajian teologis tersebut berpedoman terhadap seruan Alkitab tentang penciptaan. Bertolak dari kajian akan pemahaman tentang penciptaan ini, maka berbagai relevansi digunakan untuk sekedar mendukung perlunya kesadaran kajian ulang tentang hubungan penciptaan dengan kemajuan Ilmu dan teknologi disatu pihak dan perlunya melegitimasi gerakan alternatip meujudkan supremasi alam yang sederajat dengan manusia, sehingga manusia memahami dirinya yang dapat terancam tanpa keberadaan alam.

Ada beberapa aksi yang jika dikaji sangat erat kaitanya dilakukan karena motip teologinya. Pertama umumnya, banyak institusi agama atau masyarakat yang hanya menanggapi seruan perlunya aksi mengatasi masalah lingkungan hidup dengan cara penanaman sejuta pohon, tanpa kajian mendalam. Mereka mengikuti seruan tersebut, karena dianggap tidak responsip. Ada juga yang melakukannya, karena dianggap bahwa pemerintah menyerukan gagasan itu sudah melalui proses yang panjang.

Sudah ada kajian akademis, proses teknologi dengan analisis lingkungan, sudah melalui proses hukum dan politik yang panjang. Ada juga gereja dan masyarakat yang mengikuti seruan tersebut, membungkusnya dengan legitimasi ceremonial liturgis dan aksi penanaman pohon misalnya. Kadang ada juga telaahan Alkitab untuk melegitimasi aksi penanaman pohon tersebut, misalnya diambil dari teks Alkitab, Kejadian 2.15 tentang perlunya koreksi terhadap usaha eksploitasi manusia dengan usaha pemulihan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Barangkali sikap yang demikian itu dilakukan oleh masyarakat dan gereja tanpa mempertanyakan secara kritis, apakah Tuhan mengizinkan perusakan hutan demi memperoleh keuntungan sebanyakbanyaknya untuk satu kelompok masyarakat tertentu dan membiarkan mayoritas masyarakat miskin dan tergusur. Kenapa dilakukan penanaman sejuta pohon. Apa gunanya gerakan penanaman sejuta pohon, sementara dipertontonkan pengrusakan hutan, penebangan hutan secara kasat mata.

Kedua, ada juga yang sudah mengkaji tafsir Alkitab sesuai konteks teks dan relevansinya sampai sekarang. Responsi gereja secara kritis mengkaji realita atau fenomena kerusakan alam dicari akarnya dengan memeriksa tradisi Kristen. Apakah ada yang salah dalam tradisi Kristen, sehingga manusia bersikap merusak alam dan cendrung memahami alam terpisah dari manusia. Sebab dilain pihak diakui bahwa tradisi Kristen memiliki potensi untuk menemukan dan mengungkapkan perhatian terhadap lingkungan hidup .

Memang tradisi tersebut sering dilakukan sekaligus dalam usaha menolak berbagai pandangan yang agnostic yang memahami terjadinya dunia ini hanya karena kebetulan saja atau bahkan menolak pendekatan teistik Kristen yang menerima kebenaran harafiah dari ceritra-cerita Alkitab saja tanpa penafsiran kritis yang dimensional. Karena itu ada juga baiknya jika teologi penciptaan didudukkan pada posisinya yang luas. Misalnya bagaimana agar teologi penciptaan tidak dipisahkan tanpa sekaligus membahas keadilan dan perdamaian . Dengan demikian masalah keutuhan ciptaan dilihat kerangkanya yang konprehensip, kontekstual dan relevan.

Di Asia Pasifik misalnya, lingkungan alam di sekitar tidak pernah dilihat sebagai objek, melainkan disapa sebagai subjek. Artinya didalam keselarasan, manusia melihat dirinya sebagai bagian dari alam semesta ini. . Sementara di dalam teologi Barat tradisional, alam dilihat sebagai objek yang harus dikuasai, ditaklukkan. Manusia mencapai kedewasaannya dengan jalan menundukkan alam. Menjadi penguasa alam berarti menjadi mahluk Allah yang menjalankan mandat Tuhan. Ini berarti bahwa ada kecendrungan adanya perusakan alam terjadi karena kesalahan teologi Barat .

Pembenaran pandangan ini pertama kali dipertanyakan secara fundamental ketika membahas akar krisis ekologi yang dilakukan oleh sejarahwan Lynn White dari Amerika Serikat tahun 1967. Ia berpendapat bahwa kesalahan itu terdapat dalam doktrin penciptaan dunia Barat yang membedakan dengan sangat tajam antara manusia sebagai gambar Allah ( Imago Dei) dan dunia sebagai ciptaan yang bukan gambar Allah. Penghayatan terhadap doktrin ini menghasilkan pada manusia rasa superioritas dan transendensi terhadap alam, sehingga manusia dilihat sebagai penguasa alam, sedangkan alam hanya menjadi objek untuk kepentingan manusia. .

Kajian tentang kesalahan teologi ini ada pula yang memandangnya dari segi lain. Dalam konteks kajian sejarah kebudayaan ternyata bahwa pendekatan antroposentrik atau berpusat pada manusia yang mempertahankan superioritas manusia atas mahluk lain itu, bukanlah bersumber dari ceritra penciptaan Yahudi/ Kristen, melainkan dipengaruhi oleh filsafat Stoa. Sehingga justru pengaruh filsafat tersebut telah merembes ke pemikiran Kristen di Barat yang mengawinkan pemikiran Yunani dan Ibrani. Barangkali kondisi ini yang telah menyumbang sikap ambivalensi kekristenan terhadap lingkungan alam, sehingga melalaikan penghargaan pada seluruh ciptaan. Hal itu lebih nyata terlebih sejak awal terjadinya era pencerahan .

Dengan demikian terjadinya krisis lingkungan hidup hingga yang sekarang ini terjadi semata hanya karena kemajuan sekularisme, bukan tanggungjawab teologi gereja. Sebab Sekularisme menghilangkan makna keyakinan agama dan praktek institusi agama baik dalam arti agama maupun dalam arti social. Itu pula sebabnya kenapa kemajuan teknologi dan ekonomi sering berkembang sedemikian rupa tanpa kontrol agama.

Namun demikian, menurut teolog lingkungan hidup seperti Jhon Macquarrie mengatakan bahwa memang masalah lingkungan hidup yang terjadi sebagai konsekuensi penerapan teknologi sudah dapat dipastikan tidak dapat diselesaikan dengan hanya menciptakan teknologi yang lebih canggih saja. Melainkan perlu dibangun suatu struktur pemikiran baru yang dilandasi dengan perilaku manusia.

Disinilah seorang teolog berperan di dalam krisis ekologi dapat , “meninjau kembali tradisi Kristen dan memeriksa pada tahap-tahap mana dalam perkembangan tradisi itu telah terjadi distorsi karena tekanan yang terlampau dilebihlebihkan, dan menanyakan apakah di dalam tradisi ini tidak ada sumbersumber laten, yang dapat menjawab kebutuhan masakini. Tindakan selanjutnya adalah mengkoreksi tekanan yang berlebihlebihan ini dan mempromosikan yang tadinya laten itu.”

Diakui ada dua model menafsir tradisi penciptaan. Pertama model monarkis yang melihat hubungan antara Allah, manusia dan dunia sebagai hubungan penguasaan. Manusia melihat dirinya dapat bereksistensi sendiri tanpa yang lain. Dunia diartikan sekedar produk dari kehendak illahi, bersifat sementara, yang boleh ada dan tidak ada ditinjau dari segi Allah. Pada hal Hakikat Allah adalah Pencipta. Allah berada dalam hubungan dengan bumi sejak semula. Karena itu model ini bukan satusatunya menjadi acuan. Ada juga model lain yang dominan dan ditekankan, yakni model organis , yang perlu dipromosikan.

Dalam peristiwa Nuh sesudah air Bah, perjanjian Allah bukan hanya dengan manusia saja, melainkan juga dengan burungburung, dengan binatang ternak dan semua binatang di muka bumi ( Kej 9.10). Juga dalam Mazmur 19, 1 bahwa alam memantulkan kemuliaan Allah. Karena itu dapat disimpulkan bahwa dalam tradisi Ibrani mengenai penciptaan sangat kental terkandung unsur-unsur naturalisme. Karena itu apolegetika Kristen yang mempertahankan doktrin penciptaan sebagai sumber penyebab kerusakan ekologi dengan menunjuk pada konsep penatalayanan ( stewardship ) harus dikoreksi.

Sebab disana memang manusia masih difahami lebih tinggi daripada alam, atau masih tetap penguasa alam. Pada hal model organis menaikkan derajat alam dan menurunkan derajat manusia sehingga hasil ahirnya adalah suatu keseimbangan. Manusia dan alam, keduanya bersumberkan Tuhan. Dengan dasar pemikiran ini, manusia dapat berhadapan dengan dunia teknologi secara teologis dan menempatkan teknologi pada proporsi yang sebenarnya ditengah realitas yang organik itu.

Bertolak dari urain ini, maka secara positip gereja perlu memandang. Pertama bahwa masalah lingkungan dan kerusakannya bukan merupakan masalah sekuler, melainkan justru masalah religius . Sehingga walaupun bahaya kerusakan lingkungan hidup dibunyikan oleh pihak sekuler terhadap pihak religius dan sekaligus melemparkan tuduhan terhadap tradisi religius tertentu sebagai biang keladi kerusakan ini.

Kita hanya dapat mengatasi masalah ini, jika kita bersedia melihatnya sebagai masalah religius kita bersama dengan agama-agama lain di Indonesia. Kedua, masalah kedudukan manusia terhadap alam tidak harus mengikuti pendekatan supremasi manusia dari alam karena Imago Dei, dalam teks lain dinyatakan juga baik manusia maupun binatang disebut, “ nefesh hayyah”, mahluk hidup. Dalam Perjanjian Baru secara specific menyatakan penugasan manusia untuk memberitakan Injil sukacita juga pada seluruh mahluk atau kosmos ( Markus 16.15 ). Dengan demikian sekarang manusia tetap penting, tetapi tidak dengan jalan mengorbankan pentingnya alam. Baik manusia maupun alam adalah ciptaan Allah. Manusia sebagai gambar Allah adalah pengelola alam, tetapi dia tidak berhak mengeksploitasinya habishabisan, sebab dia bertanggungjawab atas kelangsungan hidup dari bumi yang satu ini.

Maka dapat dikatakan bahwa kita tidak dapat mengembangkan suatu eklesiologi tanpa ekologi, demikian juga gereja tidak lagi membicarakan tantangan Iptek bagi iman Kristen secara tersendiri, melainkan harus selalu di dalam kerangka keutuhan ciptaan. Sehingga sikap gereja tetap memandang positip perkembangan Iptek, selama itu menolong mempertahankan, memperkembangkan dan mempertinggi mutu kehidupan dunia ini. Jika hal ini tidak terjadi, maka gereja terpanggil untuk bersuara. Dalam kaitan ini gereja perlu membekali diri dengan orang-orang yang mampu melihat persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh perkembangan Iptek.

IV. Apa yang sudah dan akan dilakukan gereja?

Dari uraian diatas tadi respon gereja terhadap masalah lingkungan hidup, maka ada beberapa catatan yang mungkin menjadi indikator bagaimana kita mengkaji sejauhmana gereja kita sudah melakukan telaahan dalam penerapannya di gereja kita. Barangkali sebagai contoh misalnya dapat mendorong terjadinya sikap teologi lingkungan dan implikasinya menata peran gereja menjalankan program lingkungan hidup sekaligus merespon masalah kemiskinan.

Pertama, dari kajian masalah lingkungan hidup, disatu pihak difahami bahwa terjadinya berbagai dampak lingkungan hidup tidak hanya menjadi tanggungjawab kemajuan ilmu dan teknologi yang digunakan idiologi Neoliberalis yang eksploitatip. Namun dipihak lain juga harus diakui bahwa ada juga kesalahan yang dapat dikaji dari tanggungjawab tradisi gereja ketika teks Alkitab dikaji dari segi kepentingan filosofi lokal yang dominatip dan eksploitatip.

Walaupun demikian pada waktu yang sama tradisi gereja tidak sama disemua tempat. Masyarakat dan agama di Asia Pacific justru sangat faham akan status alam sebagai subjek. Konsekuensi semacam ini dapat dilihat juga implikasinya dalam kesadaran gereja. Berteologi dengan pradigma baru itu telah pula misalnya mendorong gereja HKBP merumuskan ulang tentang pemahaman kebudayaan dan lingkungan Hidup dalam rumusan konfessi gereja . Kita mempercayai dan menyaksikan :

1. Allah menciptakan manusia dengan tempat tinggalnya dan tempatnya bekerja di dunia ini (Kejadian 2.5-15). Dialah yang memiliki semuanya, yang memberikan kehidupan bagi semua yang diciptakaNya. Tempat manusia bekerja adalah daratan, laut dan langit/ruang angkasa. Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk memelihara dunia ini dengan tanggungjawab penuh. Dia juga memberikan bahasa, alat-alat musik, kesenian dan pengetahuan kepada manusia sebagai alat manusia dan juga aturan untuk memuji Allah dan sebagai sarana untuk memelihara dan memperindah persahabatan antar manusia agar melalui kebudayaan, Kerajaan Allah semakin besar. Tetapi kebudayaan yang bercampur kekafiran dan yang bertentangan dengan Firman Allah, harus ditolak.

2. Karya Yesus Kristus adalah membebaskan manusia, segala ciptaan dan juga dunia ini (Kol. 1:15-20, Roma 8:19-33), dengan ini: kita menyaksikan tanggungjawab manusia untuk melestarikan semua ciptaan Allah supaya manusia itu dapat bekerja, sehat dan sejahtera ( Maz 8.4-10 ). Kita menentang setiap kegiatan yang merusak lingkungan, seperti membakar dan menebang pohon di hutan atau hutan belantara (Ul. 5:20, 19:20). Kita menentang setiap usaha yang mencemari air dan udara, juga air limbah yang mengandung racun dari pabrik-pabrik, karena tidak memperdulikan saluran air limbah dan pencemaran udara, hingga merusak air minum dan pernafasan manusia (Mzm. 104:1-2, Why 22.1-2).

Implikasi dari kedua dictum ini telah memungkinkan saat ini gereja secara rutin mengingatkan jemaat melalui liturgy agar berperan aktip dan kritis terhadap setiap upaya perusakan alam. Bahkan memungkinkan gerakan gereja mendorong masyarakat mengakses kehidupannya melalui kedekatannya memelihara hutan dan penguasaan tanah.

Kedua, berbagai telaahan teologi ekologi dan ekonomi telah mendapat pembahasan berkelanjutan di Sidang gereja-gereja, baik di aras nasional, regional dan Internasional. Salah satu Dokumen penting terahir dapat kita lihat dari produk tim perdamaian dan keutuhan ciptaan Dewan Gereja Sedunia yang diterbitkan di Genewa 2006. Dokumen tersebut dikenal dengan slogan Globalisasi alternatip mengutamakan rakyat dan bumi (AGAPE). Salah satu statement penting dalam dokumen tersebut menyatakan, bahwa:

” The Church is called not to conform to the structures of injustice, but to herald a new creation. The Biblical vision bursts forth with the announcement of the new things that God is doing, and surely that means that in our time and place, the church must be a community of alternatives ; alternative visions, alternative spaces, alternative spirituality and alternative economic ideas and practices”.

(Gereja terpanggil untuk tidak menyesuaikan diri dengan struktur yang tidak adil, tetapi mengumandangkan ciptaan yang baru. Visi Alkitabiah merekah dengan maklumat tentang hal-hal baru yang sedang dikerjakan Allah, dan tentu itu berarti bahwa pada waktu dan ruang kita sekarang, gereja harus menjadi komunitas dari berbagai alternatip, visi alternatip, ruang alternatip, spiritualitas alternatip dan gagasan serta praktik ekonomi alternatip. )

Terkait dengan itu, maka kemiskinan harus ditanggulangi dengan kesadaran pemahaman ekonomi keluarga. Krakter ekonomi utama rumatangga kehidupan Allah adalah. 1. Rahmat ekonomi Allah yang ramah membawa dan melestarikan kelimpahan bagi semua. 2. Ekonomi Allah yang ramah menuntut kita agar mengelola kelimpahan hidup dengan cara yang adil, partisipatip dan bersifat melestarikan. 3. Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi kehidupan yang mengedepankan semangat saling berbagi, solidaritas yang menglobal, martabat manausia, cintakasih dan pemeliharaan keutuhan ciptaan. 4. Ekonomi Allah adalah suatu ekonomi untuk keseluruhan oikumene- keseluruhan kommunitas bumi. 5. Keadilan Allah dan keberpihakannya pada kaum miskin adalah tanda dari ekonomi Allah. Untuk memahami alternatip ekonomi ini barangkali saat ini gereja perlu mengidentifikasi kaitan gerakan ekonomi, ecologi dan eukomene . Sejauhmana gereja kita telah melakukan gerakan ekonomi alternatip dalam rangka mengkaji hubungan penanggulangan kemiskinan dan lingkungan hidup. Sejauhmana program lingkungan hidup dilakukan dengan menghormati berbagai alternatip yang ada dalam kesadaran masyarakat, menghormati kearifan local. Sejauhmana kajian teologi dapat dilakukan dalam kerangka menjadikan alam sebagai subjek yang menyediakan kebutuhan yang berlimpah terhadap manusia.

Ketiga, gereja-gereja di Indonesia sejak tahun 1970 hingga kemudian tahun 1980, dan puncaknya menjelang gerakan demokrasi di Indonesia sudah muncul kesadaran mengkaji adanya kelemahan ilmu dan teknologi modern, yang dikenal dengan revolusi hijau untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bahkan dengan model itu terlihat penaganan masalah kemiskinan dan masalah lingkungan hidup menjadi semakin amburadul. Unggulan pertanian organik saat ini adalah gerakan baru untuk mensintesiskan kajian teologi dan kearifan lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap gagasan Neo liberalisme.

Keempat, gereja kita sejak era missionar telah memiliki tradisi kedekatan dengan lingkungan hidup, yakni tradisi pargodungan (penataan terhadap kompleks gereja ssbagai relasi transendens sekaligus transformatip secara asri. Dalam kaitan ini gereja memahami kebaradaannya sebagai peristiwa, sehingga dimana ada gereja disitu ada ruang pencerdasan, transformasi social dan transformasi lingkungan hidup. Kesadaran ini mendorong gereja menjadikan hubungannya yang interaktip dengan kebudayaan manusia yang menghormati alam.

Kini apa yang dilakukan di era missionar dalam konteksnya memaknai lingkungan hidup agaknya perlu dikaji ulang. Sebab belakangan ini nampaknya gereja bukan lagi menjadi sumber inspirasi pembaharuan terhadap alam dan masyarakat. Slogan gagasan lingkungan hidup untuk melakukan program 4R yaitu: recycling (MENDAUR ULANG), reuse (MENGGUNAKAN KEMBALI), reduce (MENGURANGI PEMAKAIAN) dan replanting (MENANAM KEMBALI) mungkin dapat dilakukan, sekaligus dalam mengkaitkannya dengan gerakan ekonomi, ekologi dan oikumene (3E).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar